Minggu, Maret 15, 2009

Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus


Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.
Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.
Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.
Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.
Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.
Ribuan Anak Pengungsi
Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.
Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.
Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.
Bantuan Alat
Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.
Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.
"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.
Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.
Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.
Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.
Layanan Tutor
Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.
"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.
Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.
"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.
Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu
Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.
"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.
Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.
Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.
Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.
Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.
Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan

Setelah Presiden, Butet Bertemu Mendiknas


JAKARTA, JUMAT — Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo bertemu dengan Direktur Sokola Rimba Saur Marlina alias Butet Manurung. Dalam kesempatan tersebut, mereka membicarakan mengenai pendidikan bagi anak suku minoritas terpencil. Sokola Rimba menawarkan pengajaran baca, tulis, dan hitung kepada orang Rimba yang hidup di Hutan Bukit Dua Belas, Jambi.
Butet Manurung mengungkapkan, bentuk formal pendidikan untuk anak-anak di daerah terpencil sebaiknya direduksi. Pendidikan bagi mereka lebih tepat disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter masing-masing lokasi dengan indikator keberhasilan yang bersifat lokal. Dia mencontohkan, tanpa life skill yang dekat dengan kehidupan lokal, anak akan bertanya manfaat sekolah bagi masa depan mereka.
Sokola juga membutuhkan sukarelawan dan bantuan tenaga yang bersifat tetap. Model kuliah kerja nyata (KKN) tematis dalam rangka penuntasan wajib belajar memang baik, tetapi tidak berkesinambungan. Untuk beradaptasi juga butuh waktu. "Pernah ada 10 mahasiswa Universitas Gadjah Mada KKN ke tempat kami dan tak berapa lama sembilan di antaranya jatuh sakit," ujarnya.
Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan akan membuat skema pemberian blockgrant secara khusus bagi pendidikan anak suku minoritas terpencil itu. Blockgrant itu harus berbeda dengan sekolah formal.
Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas Eko Jatmiko Sukarso mencatat, terdapat 747 etnis minoritas terpencil. Depdiknas sendiri bekerja sama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, pondok pesantren, organisasi masyarakat, dan universitas sudah mengadakan pendidikan layanan khusus bagi sejumlah etnis tersebut.

Pendidikan Layanan Khusus


Betapa gembiranya anak-anak nelayan yang kurang beruntung itu di Kampung Baru Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakart Utara memperoleh akses pendidikan lewat program Pendidikan Layanan Khusus (PLK). Data yang diperoleh dari ketua Yayasan Lentera Bangsa Syaifudin Zufri ada sebanyak 190 anak usia sekolah yang kebanyakan karena putus sekolah atau terhimpit ekonomi, bahkan ada pula yang tidak pernah sekolah. Dari 190 anak, katanya, 150 anak merupakan usia sekolah SD-SMP dan sisanya usia SMA. Jadi hanya 20 persen dari jumlah total anak-anak di Kampung Baru yang punya kesempatan sekolah. "Sekolah PLK ini gratis," kata Syaifuddin. Untuk menjawab permasalahan tersebut pemerintah punya tekad kuat untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun pada tahun 2008 ini. Karena hal ini merupakan sikap dan komitmen politik sekaligus kepedulian bangsa. "Anak-anak usia dibawah 18 tahun yang belum sekolah atau putus sekolah dapat belajar lewat jalur PLK. Karena telah dijamin oleh undang-undang,". kata Direktur Pembinaan SLB Ekodjatmiko Sukarso saat meresemikan PLK Anak Nelayan di Muara Angke Jakarta Utara.
UU Sisdiknas 20/2003 pada Pasal 32 Ayat 1 tentang pendidikan khusus (PK) seperti untuk orang cacat, kemudian anak cerdas istimewa dan bakat istimewa. Pasal 32 Ayat 2 tentang PLK seperti anak-anak yang memerlukan pendidikan yang aksesnya tidak terjangkau seperti anak-anak di daerah terbelakang / terpencil / pedalaman / pulau-pulau, anak TKIM SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri) anak suku minoritas terpencil, pekerja anak, pelacur anak/traficfficking, lapas anak, anak jalanan, anak pemulung, anak pengungsi (gempa konflik), anak dari keluarga miskin absolut. "Kami sadar bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus ini memikirkan makan apa untuk sekarang dan besok, sulitnya bukan main. Sehingga dengan adanya Pasal 32 UU Sisdiknas, maka anak-anak tersebut harus sekolah," katanya.

Diakuinya, bahwa pemerintah tidak dapat memenuhi semua itu tanpa adanya dukungan masyarakat, LSM, pemerintah daerah dan pihak swasta. "Semoga peran LPPM Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan mendirikan Sekolah PLK Lentera Bangsa dapat merealisasikan niat baik pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak dan kelak dapat mendirikan mereka." katanya. Program Sekolah PLK nantinya menitikberatkan pada "kearifan lokal", yaitu membina dan mendidikan anak-anak berkebutuhan khusus ini dengan konsentrasi 80 persen kecakapan hidup. Hal ini dimaksudkan agar keluar atau lulus dari Sekolah PLK mereka dapat hidup mandiri. Kearifan lokal itu menjadi kekayaan setiap daerah yang harus dikembangkan.

sumber: http://pelangi.dit-plp.go.id

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus


KUPANG,SABTU-Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.
Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.
Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

PK/PLK Persiapkan SLB Masa Depan Unggul dan Profesional


Kegiatan peningkatan mutu PK/PLK (Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus) di lingkungan Subdis PLB untuk tahun 2008 ini dilaksanakan dalam bentuk pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) dan Peningkatan Sarana Prasarana Sekolah Luar Biasa (SLB).
Pelaksanaan peningkatan sarana dan prasarana SLB akan dilaksanakan di 26 Kab/kota. Artinya di tiap kab/kota ada SLB yang mendapatkan dana peningkatan sarana dan prasarana, kata Pejabat Pemuat Komitmen, Drs HMA Welid MMPd kepada Pelita baru-baru ini.
Sedangkan USB, menurut Welid, direncanakan dibangun di Kab Banjar, mengingat pemda setempat sudah menyatakan kesanggupan untuk menyediakan tanah. Sekarang ini, lanjut Welid, sebutan kegiatannya bukan lagi perluasan dan peningkatan mutu PLB tetapi kegiatan Perluasan dan Peningkatan Mutu PK/PLK.
Substansinya tidak berbeda, tetapi sasarannya yang sedikit berbeda. Kalau sebelumnya sasaran layanan pendidikan lebih diarahkan pada anak-anak yang memiliki cacat fisik dan mental seperti tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa. Sedangkan sekarang ini lebih diarahkan pada seluruh anak yang berkebutuhan khusus misalnya anak yang terkena bencana alam yang perlu layanan pendidikan, anak-anak pengungsi, dan anak-anak yang mengalami kelambatan belajar. Namun kami mengakui kegiatan ini belum dapat menyentuh semua stakeholder, paparnya.
Untuk itu dilakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga yang memiliki kaitan layanan pendidikan khusus. Dengan Depsos juga dilakukan koordinasi meski belum sampai pada tahap adanya MOU dan legal aspek tertulis. Koordinasi itu baru sebatas kontak-kontak tidak resmi, kata Welid yang juga sebagai Ketua DKM Masjid Baitussolihin, Disdik Jabar.
Ketika ditanyakan sasaran jumlah anak berkebutuhan khusus yang akan terlayani pendidikannya pada tahun 2008 ini, Welid mengatakan tidak ada penetapan jumlah sasaran karena untuk penjaringannya perlu dana dan tenaga yang tidak kecil. Masalahnya, untuk penjaringan anak berkebutuhan khusus diperlukan tenaga dari mulai tingkat propinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai ke desa-desa. Padahal jumlah desa di Jawa Barat mencapai 500.000 lebih. Jadi bisa dibayangkan berapa jumlah dana untuk penjaringan itu, sementara dana yang kita miliki masih terbatas, katanya.
Dilakukan penjaringan
Kepala Subdin Pendidikan Luar Biasa (PLB) Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Drs H Nondi Hidayat MPd MM, kepada Pelita Selasa (10/6) mengatakan, penjaringan yang dilakukan sampai sekarang masih dilakukan oleh guru-guru SLB setempat.
Guru-guru ini sangat besar dedikasinya. Dengan kemampuan dan keterbatasan dana pribadi, mereka melakukan penjaringan. Masa-lahnya, para guru-guru ini juga khawatir kalau SLB di tempatnya mengajar tidak ada siswa.
Dijelaskan juga, penjaringan memang perlu dilakukan terutama di desa-desa. Sedangkan di perkotaan sebagian besar orang tua sudah memiliki kesadaran dan tidak malu lagi untuk menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus untuk disekolahkan di SLB.
Ketika ditanyakan soal jumlah guru SLB di Jawa Barat, dikatakannya, rasio perbandingan siswa guru masih 5:1, dan kondisi ini masih jauh dari kebutuhan.
Kekurangan yang ada sekarang masih sekitar 900-an guru SLB terutama guru-guru yang berstatus PNS. Karenanya tahun ini Pemprov Jabar sudah mengangkat Guru Bantu Sekolah (GBS) menjadi CPNS, meskipun kebutuhan guru masih juga belum memadai. Kita juga terus mengajukan soal kebutuhan ini ke pemerintah pusat.
Soal kualifikasi guru SLB juga disinggung oleh Welid, dikatakan umumnya guru-guru SLB sekitar 98 persen masih terdiri dari lulusan PLB. Baru tujuh orang lulusan non PLB yang sekarang mengajar di SLB yairu jurusan bahasa dan sastra Indonesia, PPKN, dan guru bidang studi lainnya.
Padahal untuk SLB diperlukan juga guru bahasa Inggris, matematika dan guru olah raga. Untuk itu di tahun-tahun mendatang upaya menempatkan guru non lulusan PLB untuk mengajar di SLB akan terus dilakukan agar pendidikan di SLB lebih profesional.
Saat ini upaya ke arah itu sudah dimulai. Tapi yang sekarang dilakukan masih pada upaya memberikan pelatihan bagi guru-guru SLB untuk bisa mengajar bahasa inggris, matematika, dan olah raga yang dilakukan oleh Balai Pendidikan Guru SLB

sumber: http://www.hupelita.com

Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus


Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi(YAB)JakartaNy.RA.Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan,JakartaSelatan,Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembangdan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta

Kerajinan Peraga Pendidikan Khusus Anak


Masa kanak - kanak adalah masa yang paling menyenangkan. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan pendidikan yang baik. Akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mandiri dan sesuai harapan orangtua.

Berbagai media pendidikan kini banyak dibuat khusus untuk anak -.anak. Dan ini rumahnya menjadi ladang bisnis tersendiri bagi Ibu Ida, salah satu pengusaha mainan anak dan alat peraga TK ini.

Rupanya pendidikan anak dan alat peraganya menjadi sumber inspirasi bisnis. Kini usahanya makin berkembang, dan sedikitnya lebih dari 40 karyawan kini aktif menjadi salah satu aset perusahaan yang ia kelola.

Berbagai jenis mainan anak TK. Yang bernuansa edukatif ada disini. Seperti puzzle, binatang, dan tumbuhan. Balok - balok mainan, replika, mobil, ayunan, buku pelajaran hingga, peralatan bermain musik dan olah raga. Bisa dibuat di pabrik yang luasnya sekitar lima ratus meter persegi ini.

Keunggulan produk, mainan ini, adalah semua desain dan bahan nya menggunakan produk local. Hampir semuai pengerjaan berbagai model mainan anak dilakukan dengan cara hand made.

Hasil dari tangan tangan terampil para pekerja sekitar. Mainan yang di buat cukup beragam, dan semuanya bernuansa edukatif.

Proses pembuatan berbagai model mainan dan alat peraga pendidikan ini, cukup sederhana. Dimulai dengan proses pemolaan yang sudah jadi di dalam kertas seketsa. Sesuai peruntukannnya. Semua bahan di potong dan dihaluskan diruangan khusus. Untuk mainan dari kayu.

Bahan kayu bisa digunakan kayu dari jenis albasia. kayu pinus maupun kayu olahan seperti kayu mdf. Bahan - bahan itu dipotong dengan gergaji mesin sederhana.

Kemudian dirangkai dan dihaluskan satu persatu. Setelah barang sudah menjadi rangka setengah jadi. Maka tibalah ke proses finising atau, pewarnaan.

Di tempat ini. Barang - barang yang sudah setengah jadi tersebut, diperhalus dan diberi warna. Pemakaian warna - warna mencolok yang berani. Sangat disukai anak – anak. Sehingga berbagai jenis puzzle atau balok mainan ini terlihat berwarna cerah dan menarik perhatian.

Tiap minggunya, tak kurang dari lebih dari seratus pesanan barang, kerap dipenuhi, CV Hanimo ini untuk memenuhi beragam keperluan alat peraga sekola TK senusantara. Berbekal ketekunan dan kesabaran menjalani usaha. Kini usaha Ibu Ida. Telah bisa menghidupi sedikitnya lima puluh orang karyawan berikut keluarganya.


sumber: http://www.indofamilybisnis.com

Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus


JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.
Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.
Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.
Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.
"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.
Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.
Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.
Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.
Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.
"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.
Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.
"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

Pencari Bakat Anak Berkebutuhan Khusus


Tidak ada kesejarahan yang menyebabkan keterlibatannya dengan dunia orang-orang berkebutuhan khusus, kecuali latar belakang kuliahnya di IKIP Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Tidak banyak pula orang yang berusaha menampilkan orang-orang berkemampuan khusus ini secara massal dalam sebuah gerakan.
Orang yang melibatkan diri dalam dunia orang-orang berkebutuhan khusus dalam satu kehebohan massal itu adalah Ciptono.
Kehebohan terjadi pada suatu hari di tahun 2002. Pada hari itu, jalan-jalan protokol Kota Semarang dipadati arak-arakan mereka yang berkebutuhan khusus, mulai dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita. Mereka berjalan perlahan, merayap di atas kursi roda bersama orangtua dan guru-guru sekolah luar biasa. Hari itu sekan-akan menjadi ”hari mereka yang berkebutuhan khusus”.
”Tujuan saya mengadakan acara bagi mereka yang berkebutuhan khusus itu tidak lain untuk mencari bakat-bakat terpendam yang ada pada diri mereka. Ternyata saya memang bisa menemukan bakat-bakat mereka,” kata Ciptono.
Dia mengenang kiprahnya di balik penyelenggaraan acara bertajuk ”Lomba Jalan Sehat Keluarga Pendidikan Luar Biasa” itu.
Pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, ini ditemui di Jakarta pekan lalu seusai menerima penghargaan ISO 2009 di Lampung.
Ciptono lalu menjelaskan latar belakang diadakannya acara jalan sehat itu. Acara tersebut diselenggarakan agar para siswa berkebutuhan khusus bisa tampil lebih percaya diri di tengah masyarakat. Prinsipnya, kata Ciptono, ”Mereka (berkebutuhan khusus) tidak perlu dikasihani, tetapi harus diberi kesempatan.”
Maka, acara itu kemudian digunakan sebagai kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menampilkan kemampuannya, di bidang seni maupun keterampilan.
Dari acara terbesar pertama di Semarang bagi mereka dengan kebutuhan khusus ini ditemukanlah Delly Meladi, penyandang tunanetra bersuara merdu yang mampu menghafal lebih dari 1.000 lagu. Penyandang tunanetra lainnya, Mega Putri, ditemukan sebagai pembaca puisi. Ada lagi Bambang Muri, penyandang tunagrahita, yang sama seperti Delly pandai bernyanyi.
Ciptono tidak menyangka bahwa kegiatan jalan sehat itu telah melahirkan efek domino yang baik bagi perubahan mereka dengan kebutuhan khusus. Selain bisa muncul dari panggung ke panggung, suara mereka juga direkam dalam bentuk kaset atau video compact disc (VCD).
Sampai sekarang Ciptono telah menghasilkan lima VCD dan satu kaset. Salah satunya adalah VCD yang dikeluarkan Badan Koordinasi Pendidikan Luar Biasa Jawa Tengah berlabel Keplok Ora Tombok (ikut bersenang-senang tanpa membayar).
VCD itu menampilkan Delly, Mega, dan Bambang. Penari latar yang mengiringi ketiga penyanyi itu pun berasal dari siswa-siswi SMALB C/D1 YPAC Semarang.
”Pokoknya semua yang terlibat di dalamnya adalah anak-anak berkebutuhan khusus,” kata Ciptono.
Orangtua mampu
Setelah lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta (dulu bernama IKIP Yogyakarta) tahun 1987, Ciptono langsung mengajar di SLB Wantu Wirawan Salatiga dengan gaji Rp 5.000 per bulan plus Rp 700 untuk uang transpor.
Dia berkisah, uang sebesar itu habis dalam waktu lima hari saja. Untunglah, karena orangtuanya terbilang mampu, ongkos transportasi sehari-hari ditanggung ayahnya, Jayin Hartowiyono. Sementara sang ibu, Suntianah, menyerahkan semua keputusan untuk tetap mengajar di SLB kepada Ciptono.
Dia mengaku, jiwa sosial untuk menolong anak-anak berkebutuhan khusus itu muncul sejak lulus SMA tahun 1982.
”Maunya lulus Fakultas Kedokteran UGM karena saya bercita-cita menjadi dokter. Tetapi, karena diterimanya di IKIP Jurusan Pendidikan Luar Biasa, ya saya harus mengajar di SLB,” katanya.
Meski orangtuanya cukup berada karena memiliki armada bus Gotong Royong dan Hidayah di kota kelahirannya, Salatiga, saat masih kanak-kanak Ciptono dititipkan kepada neneknya dengan pendidikan ”keras”. Ia mengaku, neneknyalah yang mendidiknya untuk mencintai sesama, khususnya mereka yang tidak mampu dan berkekurangan.
”Boleh dibilang saya dilatih (Nenek) untuk tidak tegaan,” katanya.
Tahun 1989 ia mengajar Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa dan dasar-dasar pendidikan luar biasa di pendidikan guru agama negeri. Pada tahun itu juga ia menjadi calon pegawai negeri sipil SLB C YPAC Semarang. Dari keseringannya bergaul dengan mereka yang berkebutuhan khusus, Ciptono mulai menemukan kenyataan bahwa di antara anak-anak itu ada yang memiliki bakat khusus.
Misalnya, ia menemukan Andi Wibowo, penyandang tunagrahita yang mampu menggambar dengan menggunakan dua tangan secara bersamaan. Andi ”hanya” memiliki IQ 60, di mana umumnya, menurut Ciptono, anak-anak itu ber-IQ 90.
Untuk memunculkan anak-anak berkebutuhan khusus yang punya kemampuan khusus, ada saja acara yang dia ciptakan setiap tahun, mulai dari donor darah, halalbihalal, sampai merayakan Natal. Semua acara itu selalu melibatkan siswa-siswi berkebutuhan khusus. Sampai-sampai saat mereka tampil di sebuah mal pada 19 Desember 2008, banyak orang tidak percaya bahwa itu suara asli mereka yang berkebutuhan khusus.
”Mereka tahunya itu suara pura-pura atau tiruan, bukan suara mereka yang sebenarnya. Padahal, itu asli suara mereka dengan kebutuhan khusus, mulai dari tingkat SD sampai SMA,” tutur Ciptono.
Tujuh rekor
Atas prestasinya memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus, Ciptono yang pada 2003 menyabet juara I Lomba Mengarang dan Pidato Antarguru SLB se-Jawa Tengah itu mendapat berbagai penghargaan dari dinas pendidikan sampai Departemen Pendidikan Nasional.
Ia juga memperoleh tujuh rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) atas kepeduliannya kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Penghargaan lainnya adalah sebagai guru SLB berdedikasi tinggi dari dinas pendidikan setempat pada tahun 2003. Tahun 2005 ia menerima penghargaan sebagai guru berdedikasi tinggi dari Mendiknas Bambang Sudibyo, dan tahun 2006 menjadi juara guru kreatif.
Agustus 2008 Ciptono menyabet juara pertama lomba manajemen pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tingkat nasional.
”Saya mendapat hadiah Rp 10 juta dari Gubernur Jawa Tengah atas prestasi ini,” kata Ciptono yang tiga kali mendirikan SLB, yakni SLB Hajjah Sumiati, SD Bina Harapan, dan belakangan ini ia membuka sekolah di garasi untuk anak-anak berkemampuan khusus.
Jabatan formal Ciptono adalah Kepala Sekolah SLBN Semarang yang membawahkan 60 karyawan dan guru. Sepuluh di antaranya sudah menjadi pegawai negeri sipil, sedangkan selebihnya masih sebagai tenaga honorer.
Uniknya, 20 persen karyawannya itu haruslah dari anak-anak berkebutuhan khusus. Sekarang ini, misalnya, dikaryakan dua penyandang tunadaksa, dua penyandang tunarungu, dan satu penyandang tunanetra.
”Asisten guru pun diangkat dari anak-anak berkebutuhan khusus ini,” kata Ciptono menambahkan.

Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus Baru Sentuh 21 Persen ABK


Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?



Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.



Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.



Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.



Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.



Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).



Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).



Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.



Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.



Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.



Di samping itu, untuk menambah SDM pendidik, pemerintah mulai menggandeng perguruan tinggi di seluruh tanah air.
sumber: http://arsip.pontianakpost.com

Membangun Benteng Moral Pelajar



Rashid Satari
Mahasiswa S1 Jurusan Dakwah dan Wawasan Keislaman Universitas Al Azhar Cairo
Dunia pendidikan Indonesia masih kelabu. Dulu siswa sering tawuran. Sekarang sering terdengar kebocoran soal-soal ujian nasional. Kasus-kasus rekaman video amoral pun sering terjadi. Padahal, mereka aset bangsa yang sangat potensial dan mahal harganya.

Pada pundak merekalah masa depan keberlangsungan republik ini diamanahkan. Oleh karena itu, pembinaan melalui jalur pendidikan menjadi sangat penting sebagai usaha persiapan mereka menjadi generasi penerus yang kompetitif di masa depan.

Namun, kasus-kasus seperti di atas tadi seakan menegasikan hal itu. Kalangan pelajar justru semakin jauh dari aktivitasnya sebagai anak didik. Pelajar lebih sibuk mempersiapkan diri menghadapi tawuran atau minimal berpikir agar selamat dari tawuran.

Mereka juga sibuk dengan perang pergaulan. Mode menjadi perhatian, lagu-lagu terbaru menjadi lebih menarik ketimbang sastra, fisika, atau matematika. Malah lebih parah lagi kini pelajar diracuni dengan pornografi dan pornoaksi yang terselip rapi di ponselnya masing-masing.

Dampak globalisasi
Permasalahan para pelajar berakar pada kran globalisasi yang semakin terbuka lebar. Arus deras informasi dan jaringan komunikasi menjadi sedemikan cepat. Bahkan, berbagai informasi kini semakin mudah dan murah dijangkau yang pada titik kritisnya informasi terakses cepat tanpa filterisasi.

Globalisasi yang memiliki dua sisi mata uang (positif dan negatif) juga menjadi penyebab infiltrasi budaya tidak terbendung. Budaya-budaya sedemikian cepat dan mudah saling bertukar tempat dan saling memengaruhi satu sama lain. Termasuk budaya hidup Barat yang liberal dan bebas merasuki budaya ketimuran yang lebih cenderung teratur dan terpelihara oleh nilai-nilai agama.

Kenyataan tersebut sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah bila kita memiliki ketahanan yang cukup. Artinya, dalam konteks dunia pendidikan, pelajar kita memiliki fondasi yang kuat tentang agama, moral, dan budaya kita sendiri sehingga budaya-budaya baru yang kontraproduktif bahkan destruktif tidak dengan mudah memengaruhi gaya hidup para pelajar kita.

Akan tetapi, realitas berbicara lain. Para pelajar kita rupanya belum siap menghadapi itu semua. Mereka ternyata belum siap dengan konsekuensi globalisasi. Apalagi bila melihat kenyataan bahwa langkah-langkah antisipatif dalam memperkuat kekuatan mental dan rohani mereka sebagai benteng moral sedemikian rapuh. Ini bisa kita lihat dari persentase kegiatan belajar mengajar (KBM) mata pelajaran agama di sekolah-sekolah.

Seorang pakar pendidikan, Arief Rahman Hakim, berpendapat bahwa pola serta kurikulum pendidikan di Indonesia tidak memadai untuk mengarahkan moral pelajar. Misalnya saja tidak ada titik temu antara pelajaran pendidikan agama dan kenyataan di lapangan. Itu terbukti persentase KBM pelajaran agama hingga saat ini masih sangat minim. Rata-rata di setiap sekolah hanya mengalokasikan dua jam pelajaran tiap pekan untuk mata pelajaran ini.

Belum lagi kenyataan yang membuktikan bahwa pelajaran agama yang diberikan pun hanya sebatas teori yang kurang aplikatif. Pendidikan keberagamaan yang baik sejatinya berimplikasi positif pada moralitas yang kemudian tecermin dalam aktivitas sehari-hari. Inilah mengapa moralitas para pelajar kita sangat berkaitan erat dengan bagaimana pendidikan agama yang mereka ikuti di sekolah-sekolah, selain pengayoman orang tua di rumahnya masing-masing.

Suasana agamis di sekolah
Para ahli pendidikan hampir bersepakat bahwa kegiatan pendidikan bisa dikategorikan pada tiga, yaitu formal, nonformal, dan informal. Melihat hal ini, maka sebenarnya setiap pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan khususnya sekolah memiliki peluang dan kesempatan yang besar dalam memaksimalkan pendidikan agama sekaligus pendidikan moral bagi para pelajar.

Kegiatan pendidikan keagamaan tentu tidak hanya bisa dilakukan di dalam kelas. Namun, juga bisa di luar kelas tanpa mengganggu alokasi waktu yang diberikan untuk mata pelajaran lain. Bila kegiatan pendidikan nonformal, semisal penelitian biologi dan fisika saja bisa, maka agama pun tidak mustahil dilakukan.

Titik tekan dari upaya optimalisasi kegiatan belajar nonformal atau luar kelas ini tentu saja dalam rangka mendidik pelajar kita dalam menghayati nilai-nilai agamanya sehingga benar-benar menjadi sesuatu hal yang aplikatif. Pemahaman pelajar tentang pelajaran agama seharusnya tidak hanya dinilai di atas kertas, tetapi juga dalam tingkah laku nyata. Ini karena agama juga layaknya mata pelajaran lain. Agama bukan sekadar teori, tapi juga praktik.

Sebagai studi komparasi, kebijakan yang dilakukan lembaga pendidikan Al Azhar di Mesir mungkin bisa menjadi contoh. Prof Dr Mohammad Sayyed Thantawi, Grand Syaikh Universitas Al Azhar Mesir, dalam sambutannya di acara lokakarya pendidikan yang diselenggarakan KBRI Cairo menyampaikan bahwa Al Azhar sebagai lembaga pendidikan yang komprehensif mulai dari jenjang raudhatul athfal (TK) hingga jenjang universitas sangat menekankan penguatan basis dasar keagamaan (Islam).

Sebagai contoh adalah hafalan Alquran sudah dibiasakan sejak jenjang TK mulai dari surat-surat pendek. Begitu seterusnya hingga jenjang-jenjang selanjutnya. Tidak mengherankan bila lulusan-lulusan Tsanawiyyah AL Azhar sudah menggondol hafalan Alquran sebanyak 30 juz. Di luar itu, sekolah-sekolah ini tetap memberikan porsi mata pelajaran lain yang cukup bagi anak-anak didiknya.

Hal di atas hanyalah sebuah sampel yang menunjukkan bahwa sekolah bisa memaksimalkan fungsinya dalam pendidikan agama untuk anak-anak didiknya. Apalagi, seperti kita ketahui bersama, aktivitas pendidikan tidak terbatas secara kurikuler.

Sekolah adalah sentral kegiatan generasi pelajar kita. Optimalisasi pendidikan keagamaan yang berlangsung pada keduanya menginvestasikan nilai-nilai kebajikan dalam moralitas para pelajar kita. Dari moralitas yang didasari pemahaman keagamaan yang baiklah diharapkan muncul sosok-sosok muda berseragam sekolah yang berperilaku mulia dan memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Ikhtisar:
- Pelajaran agama di sekolah-sekolah sangat minim, hanya dua jam setiap pekan.
- Perlu kebijakan yang bisa memperkuat akhlak para pelajar.
- Orang tua dan pihak sekolah harus mampu menjalin hubungan yang sinergis dan harmonis.

*) HU Republika edisi Jumat, 23 Mei 2008

http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=334860&kat_id=16

Santri dan Kiai Harus Bisa "Ngigelan Jaman" Banyak Pesantren Gulung Tikar



PANTAS Kab. Cianjur dijuluki kota santri dan pabrik kiai. Di Jabar, kabupaten ini paling banyak memiliki pondok pesantren (pontren). Namun belakangan, ternyata tidak sedikit pula pesantren yang gulung tikar. Institusi pendidikan keagamaan ini ditinggalkan para santrinya. Tempat tinggal santri yang biasa disebut kobong pun bak bangunan tua.

Tengok saja Pontren Al Irfan, di Desa Peuteuycondong, Kec. Cibeber. Jumlah santri yang menimba ilmu di pontren ini terus menyusut hingga sekarang tak seorang santri pun yang masih bertahan. Kobongnya pun ibarat rumah hantu saja, tidak terawat lagi. Padahal, sebelumnya aktivitas santri di pontren yang diasuh K.H. Achyad ini sangat dinamis.

Nasib serupa dialami pontren lainnya. Pontren Gelar, Kec. Cibeber, yang dulu termasyhur di Cianjur kini kian meredup saja. Begitu pun pontren lainnya, seperti pontren Ciharashas, Kec. Cilaku atau pontren Darul Fallah, Desa Jambudipa, Kec. Warungkondang. Animo masyarakat untuk menjadi santri potren yang dulu terkenal itu kian turun. Malah ada pula yang kemudian pengasuh pontren menyengketakan lahan pontren.

Pengurus MUI Kab. Cianjur, Yosef Umar, menyebutkan, banyak permasalahan yang menyebabkan potren gulung tikar karena ditinggalkan santrinya. "Salah satu permasalahan yang paling mendasar yakni pontren bersangkutan tidak mengikuti perkembangan zaman," ungkap Yosep, di ruang kerjanya, Jumat (23/1).

Pontren bersangkutan, katanya, semata-mata mentransfer ilmu keagamaan, tidak mengikuti kurikulum baku, dan pengelolaannya bersifat tradisional. Dengan kondisi seperti ini pontren tidak memiliki legalitas formal dari negara, seperti madrasah ibtidaiah (MI) atau madrasah tsnawiah (MTs.), sehingga tidak menarik minat masyarakat menimba ilmu di pontren ini.

Saat ini urusan legalitas sangat penting. Lulusan apa seseorang menjadi gengsi tersendiri dan harus dibuktikan secara legal. Konsekuensinya jika ada institusi pendidikan tanpa legalitas dengan sendirinya tidak bakal diminati warga. Malah sekarang, menurut dia, urusannya lebih pragmatis lagi. Orang akan mempertimbangkan bakal bagaimana nanti menyangkut kehidupan materinya setelah menimba ilmu di sebuah institusi pendidikan, seperti pesantren.

Oleh karena itu, di samping aspek legalitas dan membangun integritas moral keagamaan santri, pontren harus berorientasi pasar kerja. Artinya, terang Yosef, pascapendidikan di pontren, para santri memiliki lahan hidup, bukannya menambah jumlah penangguran. Dengan sosok seperti ini menjadikan pontren memiliki daya tarik besar di tengah-tengah masyarakat.

Program pengembangan Tempat Praktik Kegiatan Usaha (TPKU) dan Tempat Pelatihan Usaha Santri (TPUS) yang digulirkan Menteri Koperasi dan UKM Surya Dharma Ali bagi 470 pontren di Jabar ini sangat strategis. Program yang masing-masing senilai Rp 200 juta hingga Rp 250 juta ini, di antaranya untuk pontren di Cianjur, tuturnya, akan membangun posisi tawar pesantren di tengah-tengah masyarakat yang merindukan lapangan kerja seusai mengikuti pendidikan di pontren.

Para santri tidak sekadar mengikuti pendidikan resmi, mereka pun akan dilatih keterampilan usaha, baik di sektor pertanian, perikanan, atau sektor lainnya yang bisa mendatangkan uang. "Dengan memiliki keterampilan, mereka bisa membuka usaha untuk kelangsungan hidupnya," ujarnya.

Penyelenggaraan pendidikan nonkeagamaan, seperti keterampilan usaha di pontren, ucap Ketua Komisi IV DPRD Cianjur, K.H. Koko Abdul Qodir Rozi, merupakan inovasi yang bisa menarik minat masyarakat untuk menjadi santri. Kelak, santri bukan hanya sarat dengan ilmu keagamaan melainkan pandai atau terampil berusaha guna memenuhi kebutuhan materinya.

Perlunya adaptasi dan inovasi seperti pemberian keterampilan usaha, bagi pengasuh Pontren Al Barkah Warujajar Cianjur ini sebenarnya disadari para pengasuh pontren. Namun, mereka sering terbentur ketiadaan dana untuk penyelenggaran pendidikan keterampilan itu. Karena untuk pengadaan SDM, sarana, dan prasarana pelatihan dibutuhkan dana yang cukup besar.

"Jadi permasalahannya kembali pada ketiadaan dana untuk pengembangan pontren yang sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu, instansi terkait, seperti Departemen Agama atau Dinas Pendidikan harus memedulikannya. Pontren modern yang sekarang banyak berdiri di Cianjur menyedot investasi yang sangat besar," kata Ustaz Koko, panggilan akrabnya, di ruang kerjanya, Kamis (22/1).

Saat ini jangankan untuk melakukan inovasi, sekadar melangsungkan pendidikan yang alakadarnya sekalipun, pontren dibelit kesulitan dana. Pengasuh pontren yang terdiri atas para kiai terpaksa pontang-panting untuk memenuhi kelangsungan hidup pontrennya sendiri. "Pontren itu kan didirikan oleh para kiai, bukan pengusaha," ujarnya.

Kondisi seperti ini kadang dimanfaatkan oknum untuk menjual proposal kebutuhan pontren walaupun pontrennya fiktif. Untuk mengatasi oknum yang mencoreng nama baik potren, Depag harus segera menertibkan potren yang ada di Cianjur. Depag harus mengetahui potren mana yang masih menyelenggarakan pendidikan dan mana yang tidak.

Jumlah pontren

Jumlah pontren versi data Depag Kab. Cianjur mengalami fluktuasi dalam tiga tahun terakhir ini. Pada 2004-2005 ada 344 pontren. Tahun 2005-2006 melonjak jadi 514 pontren, namun 2006-2007 turun lagi jadi 336 pontren, dan 2007-2008 bertambah lagi menjadi 438 pontren. Data ini teridentifikasi, ujar Kasi Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Depag Kab. Cianjur, Lisnawati.

Tapi berapa banyak pontren yang sekarang masih menyelenggarakan pendidikan, pihaknya tidak mengetahui persis, sekaitan belum pernah melaksanakan monitoring dan evaluasi (monev). Pihaknya pun tidak mengetahui pontren mana yang dikucuri bantuan atau program dari pemerintah.

Sejatinya setiap pontren harus mengantongi izin operasional dan guna memiliki izin tersebut pontren bersangkutan harus memenuhi persyaratan, di antaranya, melaporkan aset pontren, jumlah santri, data kiai, yang diketahui oleh kepala desa, kecamatan, dan MUI. Sebelum izin terbit pun pihaknya akan melakukan survei.

Banyaknya pontren yang gulung tikar, imbuhnya, akibat pengelolaan yang kurang profesional. Para pengelola tidak mengikuti tuntutan zaman yang berarti melakukan pembaruan, baik pada pola pengajaran, manajemen, peningkatan SDM pengelola, maupun aspek lainnya termasuk tuntutan pasar kerja. (PK-4)***

ICT Masuk Pesantren


JAKARTA, SENIN - Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren memberikan kontribusi besar bagi sistem pendidikan yang mampu mengembangkan watak, karakter, dan moral para santri serta anak didiknya dalam masyarakat. Selain itu, pesantren mampu menjadi agen perubahan sosial.Melihat peran pesantren yang sangat penting tersebut, International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dengan dibantu oleh Ford Foundation mengadakan Program Pendidikan Jarak Jauh Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT - Information & Communications Technology).

"Program ini pada dasarnya merupakan semacam upaya dan kreativitas untuk merespon fungsi dan peranan pesantren," ujar Direktur Eksekutif ICIP Syafi'i Anwar dalam peluncuran program open, distance dan e-learning untuk transformasi masyarakat islam melalui pesantren di Hotel Nikko, Senin (7/4).

Program belajar jarak jauh berbasis teknologi komunikasi dan informasi ini mempunyai makna bahwa belajar dapat dimana saja, tanpa ada batasan ruang, antara guru dan murid tidak harus berada dalam satu tempat, dan segala aktifitas belajarnya menggunakan teknologi elektronik, seperti web, pembelajaran berbantuan komputer, video streaming, chatting, radio, televisi, telepon, dan perangkat elektronik lainnya.

Program ini, lanjut Syafi'i mempunyai tujuan mewujudkan komunitas pesantren yang akrab dengan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi untuk pencerahan peradaban Islam yang inklusif, humanis, terbuka, dan berorientasi ke depan dan makin memampukan pesantren sebagai agen perubahan yang dapat memberi pencerahan dan manfaat bagi masyarakat sekitar.

Melalui program ini juga, kata Syafi'i, mereka yang putus sekolah dapat melanjutkan pendidikan melalui program kesetaraan paket B dan C. "Dengan demikian, program ini selain berusaha untuk menjadikan pesantren sebagai pusat belajar, juga mempunyai fungsi sosial dan edukatif yang berusaha meningkatkan kualitas hidup bagi masyarakat sekitarnya," ujarnya.

Menurut Syafi'i ada delapan pesantren di Jawa yang menjadi pilot project dalam program ini yakni PP Al Annizamiyyah (Pandeglang), Kenaniyah (Jakarta Timur), PP Al Musri (Canjur), PP Al Mizan (Majalengka), PP Hasyim Asy'ari (Jepara), PP Raudatul Falah (Rambang), PP Nurul Jadid (Probolingo), dan PP Nurul Islam (Jember).Setelah melalui uji coba selama beberapa bulan, kata Syafi'i, program ini ternyata memberi manfaat yang nyata bagi pesantren yang terlibat dan mendapat respon yang baik dan positif bagi masyarakat di sekitar pesantren. "Melihat hal ini, ICIP optimis terhadap program ini," demikian Syafi'i.

Pesantren Awal Bangkitnya Moral Pendidikan


PESANTREN merupakan lembaga pendidikan yang unik, tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya, C. Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa). Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren.
Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang jelas karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Ketika lembaga-lembaga sosial yang lain belum berjalan secara fungsional, pesantren menjadi pusat aktivitas sosial masyarakat, mulai dari yang belajar agama, bela diri, mengobati orang sakit, konsultasi pertanian, mencari jodoh, sampai pada menyusun perlawanan terhadap kaum penjajah. Semua itu dilakukan di sebuah pesantren yang dipimpin oleh seorang kiai.

Sebagai lembaga sosial, pada umumnya pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Sementara itu, sebagai suatu komunitas pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar.

Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pondok pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fid din yang mengemban untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad saw sekaligus melestarikan ajaran Islam.

Apabila kita cermati, di Indonesia terdapat sekira 12.000 pesantren yang tersebar di seluruh nusantara dengan berbeda bentuk dan modelnya. Bahkan, dihuni tidak kurang dari tiga juta santrinya.

Sementara itu, berdasarkan laporan Kanwil Depag Jawa Barat, didapatkan hasil bahwa sampai dengan tahun 2004 terdapat 4.548 buah pesantren yang tersebar di 25 kabupaten/ kota di Jawa Barat. Dari total jumlah pondok pesantren yang berada di Jawa Barat tersebut, sebanyak 7,34% (334 pondok pesantren) berada di Kabupaten Sukabumi dan 44 pondok pesantren atau 0,97% lainnya berada di Kota Sukabumi.

Banyaknya lembaga keagamaan (pondok pesantren) yang berada di Jawa Barat khususnya di Kabupaten dan Kota Sukabumi merupakan potensi yang sangat besar dalam meningkatkan pengembangan masyarakat. Selain dalam pembangunan sumber daya manusia dalam meningkatkan kualitas kehidupan keagamaan, pesantren juga dapat memberikan konstribusi yang sangat besar dalam pengembangan ekonomi masyarakat, pelayanan kesehatan, pengembangan hukum, dan demokrasi.

Seiring kebijakan otonomi daerah, upaya penguatan dan pengembangan pesantren di daerah menjadi sangat penting untuk menjadi perhatian bersama. Pemerintah daerah dan legislatif, kini memiliki wewenang dan kekuasaan yang lebih besar sehingga kebijakan dapat langsung menyentuh dunia pesantren. Dengan demikian, pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) senyatanya dapat memberikan dukungan dalam pengembangan dunia pesantren.

Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.

Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam membina dan mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya, pesantren secara terus-menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban, kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat, ternyata pesantren mampu mengembangkan kelembagan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan.

Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangannya harus terus didorong. Pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren.

Terdapat beberapa hal yang tengah dihadapi pesantren dalam melakukan pengembangannya. Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah memengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Terlepas siapa yang memulai, hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini.

Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Selain itu, kebutuhan penataan dan pengadaan infrastruktur pondok pesantren telah berimplikasi terhadap munculnya anggapan misalnya dalam bidang kesehatan bahwa pesantren adalah komunitas yang tidak sehat. Sekalipun perilaku hidup sehat mulai disadari oleh sebagian besar pondok pesantren. Namun, hal itu masih perlu lebih banyak dorongan, khususnya pondok-pondok pesantren kecil yang memiliki pendanaan minim. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai.

Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, senyatanya menjadi pertimbangan pesantren.

Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil. Hal lain juga terjadi karena kurang meratanya akses yang dimiliki antara pesantren yang satu dan yang lainnya. Ketimpangan antar pesantren terutama pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas. Pesantren kecil yang hanya berbasiskan masyarakat di sekitarnya kian terlihat kurang berkembang, sedangkan pesantren besar sedikit demi sedikit lebih berorientasi pada pengembangan santri yang secara kuantitas bukan berasal dari daerah setempat.

Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur. Alumni pesantren sebagai output sulit diketahui secara terstruktur dalam dokumen yang dimiliki pesantren. Padahal alumni merupakan aset besar untuk mendorong pengembangan pondok pesantren di masa yang akan datang.

Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan.

Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentresi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tiadak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian. Keahlian tersebut tentunya yang berkaitan dengan menciptakan kemandirian santri dan masyarakat dalam segala bidang. Dengan demikian, ketika santri selesai melakukan pendidikan di sebuah pesantren, selain ia memiliki wawasan keagamaan yang tangguh, ia juga memiliki kemampuan untuk melajukan sesuatu sesuai dengan bidangnya yang berguna baik bagi dirinya maupun masyarakat.

Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunai pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang dilakukan pesantren tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan semua pihak termasuk pemerintah.

Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab internal pesantren, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan daerah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta pesantren dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa, sehingga pembangunan tidak tampak hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.


sumber:
http://blog.appidi.or.id/

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius


YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram.
sumber:http://www.maarif-nu.or.id