Minggu, Maret 15, 2009

Membangun Benteng Moral Pelajar



Rashid Satari
Mahasiswa S1 Jurusan Dakwah dan Wawasan Keislaman Universitas Al Azhar Cairo
Dunia pendidikan Indonesia masih kelabu. Dulu siswa sering tawuran. Sekarang sering terdengar kebocoran soal-soal ujian nasional. Kasus-kasus rekaman video amoral pun sering terjadi. Padahal, mereka aset bangsa yang sangat potensial dan mahal harganya.

Pada pundak merekalah masa depan keberlangsungan republik ini diamanahkan. Oleh karena itu, pembinaan melalui jalur pendidikan menjadi sangat penting sebagai usaha persiapan mereka menjadi generasi penerus yang kompetitif di masa depan.

Namun, kasus-kasus seperti di atas tadi seakan menegasikan hal itu. Kalangan pelajar justru semakin jauh dari aktivitasnya sebagai anak didik. Pelajar lebih sibuk mempersiapkan diri menghadapi tawuran atau minimal berpikir agar selamat dari tawuran.

Mereka juga sibuk dengan perang pergaulan. Mode menjadi perhatian, lagu-lagu terbaru menjadi lebih menarik ketimbang sastra, fisika, atau matematika. Malah lebih parah lagi kini pelajar diracuni dengan pornografi dan pornoaksi yang terselip rapi di ponselnya masing-masing.

Dampak globalisasi
Permasalahan para pelajar berakar pada kran globalisasi yang semakin terbuka lebar. Arus deras informasi dan jaringan komunikasi menjadi sedemikan cepat. Bahkan, berbagai informasi kini semakin mudah dan murah dijangkau yang pada titik kritisnya informasi terakses cepat tanpa filterisasi.

Globalisasi yang memiliki dua sisi mata uang (positif dan negatif) juga menjadi penyebab infiltrasi budaya tidak terbendung. Budaya-budaya sedemikian cepat dan mudah saling bertukar tempat dan saling memengaruhi satu sama lain. Termasuk budaya hidup Barat yang liberal dan bebas merasuki budaya ketimuran yang lebih cenderung teratur dan terpelihara oleh nilai-nilai agama.

Kenyataan tersebut sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah bila kita memiliki ketahanan yang cukup. Artinya, dalam konteks dunia pendidikan, pelajar kita memiliki fondasi yang kuat tentang agama, moral, dan budaya kita sendiri sehingga budaya-budaya baru yang kontraproduktif bahkan destruktif tidak dengan mudah memengaruhi gaya hidup para pelajar kita.

Akan tetapi, realitas berbicara lain. Para pelajar kita rupanya belum siap menghadapi itu semua. Mereka ternyata belum siap dengan konsekuensi globalisasi. Apalagi bila melihat kenyataan bahwa langkah-langkah antisipatif dalam memperkuat kekuatan mental dan rohani mereka sebagai benteng moral sedemikian rapuh. Ini bisa kita lihat dari persentase kegiatan belajar mengajar (KBM) mata pelajaran agama di sekolah-sekolah.

Seorang pakar pendidikan, Arief Rahman Hakim, berpendapat bahwa pola serta kurikulum pendidikan di Indonesia tidak memadai untuk mengarahkan moral pelajar. Misalnya saja tidak ada titik temu antara pelajaran pendidikan agama dan kenyataan di lapangan. Itu terbukti persentase KBM pelajaran agama hingga saat ini masih sangat minim. Rata-rata di setiap sekolah hanya mengalokasikan dua jam pelajaran tiap pekan untuk mata pelajaran ini.

Belum lagi kenyataan yang membuktikan bahwa pelajaran agama yang diberikan pun hanya sebatas teori yang kurang aplikatif. Pendidikan keberagamaan yang baik sejatinya berimplikasi positif pada moralitas yang kemudian tecermin dalam aktivitas sehari-hari. Inilah mengapa moralitas para pelajar kita sangat berkaitan erat dengan bagaimana pendidikan agama yang mereka ikuti di sekolah-sekolah, selain pengayoman orang tua di rumahnya masing-masing.

Suasana agamis di sekolah
Para ahli pendidikan hampir bersepakat bahwa kegiatan pendidikan bisa dikategorikan pada tiga, yaitu formal, nonformal, dan informal. Melihat hal ini, maka sebenarnya setiap pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan khususnya sekolah memiliki peluang dan kesempatan yang besar dalam memaksimalkan pendidikan agama sekaligus pendidikan moral bagi para pelajar.

Kegiatan pendidikan keagamaan tentu tidak hanya bisa dilakukan di dalam kelas. Namun, juga bisa di luar kelas tanpa mengganggu alokasi waktu yang diberikan untuk mata pelajaran lain. Bila kegiatan pendidikan nonformal, semisal penelitian biologi dan fisika saja bisa, maka agama pun tidak mustahil dilakukan.

Titik tekan dari upaya optimalisasi kegiatan belajar nonformal atau luar kelas ini tentu saja dalam rangka mendidik pelajar kita dalam menghayati nilai-nilai agamanya sehingga benar-benar menjadi sesuatu hal yang aplikatif. Pemahaman pelajar tentang pelajaran agama seharusnya tidak hanya dinilai di atas kertas, tetapi juga dalam tingkah laku nyata. Ini karena agama juga layaknya mata pelajaran lain. Agama bukan sekadar teori, tapi juga praktik.

Sebagai studi komparasi, kebijakan yang dilakukan lembaga pendidikan Al Azhar di Mesir mungkin bisa menjadi contoh. Prof Dr Mohammad Sayyed Thantawi, Grand Syaikh Universitas Al Azhar Mesir, dalam sambutannya di acara lokakarya pendidikan yang diselenggarakan KBRI Cairo menyampaikan bahwa Al Azhar sebagai lembaga pendidikan yang komprehensif mulai dari jenjang raudhatul athfal (TK) hingga jenjang universitas sangat menekankan penguatan basis dasar keagamaan (Islam).

Sebagai contoh adalah hafalan Alquran sudah dibiasakan sejak jenjang TK mulai dari surat-surat pendek. Begitu seterusnya hingga jenjang-jenjang selanjutnya. Tidak mengherankan bila lulusan-lulusan Tsanawiyyah AL Azhar sudah menggondol hafalan Alquran sebanyak 30 juz. Di luar itu, sekolah-sekolah ini tetap memberikan porsi mata pelajaran lain yang cukup bagi anak-anak didiknya.

Hal di atas hanyalah sebuah sampel yang menunjukkan bahwa sekolah bisa memaksimalkan fungsinya dalam pendidikan agama untuk anak-anak didiknya. Apalagi, seperti kita ketahui bersama, aktivitas pendidikan tidak terbatas secara kurikuler.

Sekolah adalah sentral kegiatan generasi pelajar kita. Optimalisasi pendidikan keagamaan yang berlangsung pada keduanya menginvestasikan nilai-nilai kebajikan dalam moralitas para pelajar kita. Dari moralitas yang didasari pemahaman keagamaan yang baiklah diharapkan muncul sosok-sosok muda berseragam sekolah yang berperilaku mulia dan memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Ikhtisar:
- Pelajaran agama di sekolah-sekolah sangat minim, hanya dua jam setiap pekan.
- Perlu kebijakan yang bisa memperkuat akhlak para pelajar.
- Orang tua dan pihak sekolah harus mampu menjalin hubungan yang sinergis dan harmonis.

*) HU Republika edisi Jumat, 23 Mei 2008

http://republika.co.id/kolom_detail.asp?id=334860&kat_id=16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar