Butet Manurung mengungkapkan, bentuk formal pendidikan untuk anak-anak di daerah terpencil sebaiknya direduksi. Pendidikan bagi mereka lebih tepat disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter masing-masing lokasi dengan indikator keberhasilan yang bersifat lokal. Dia mencontohkan, tanpa life skill yang dekat dengan kehidupan lokal, anak akan bertanya manfaat sekolah bagi masa depan mereka.
Sokola juga membutuhkan sukarelawan dan bantuan tenaga yang bersifat tetap. Model kuliah kerja nyata (KKN) tematis dalam rangka penuntasan wajib belajar memang baik, tetapi tidak berkesinambungan. Untuk beradaptasi juga butuh waktu. "Pernah ada 10 mahasiswa Universitas Gadjah Mada KKN ke tempat kami dan tak berapa lama sembilan di antaranya jatuh sakit," ujarnya.
Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan akan membuat skema pemberian blockgrant secara khusus bagi pendidikan anak suku minoritas terpencil itu. Blockgrant itu harus berbeda dengan sekolah formal.
Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas Eko Jatmiko Sukarso mencatat, terdapat 747 etnis minoritas terpencil. Depdiknas sendiri bekerja sama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, pondok pesantren, organisasi masyarakat, dan universitas sudah mengadakan pendidikan layanan khusus bagi sejumlah etnis tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar