Rabu, Mei 20, 2009

Pendidikan Alternatif dan Perubahan Sosial


    Pendidikan anak bangsa tidak terjadi di ruang hampa melainkan berada dalam realita perubahan sosial yang sangat dahsyat. Pendidikan di sekolah merupakan salah satu subsistim dari keseluruhan sistim pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, media, dan sekolah. Masyarakat modern (atau pascamodern) ditandai dengan renggangnya hubungan antar manusia karena keterasingan masing-masing. Tanggung jawab pendidikan generasi muda telah ditumpukan dengan berat sebelah kepada lembaga-lembaga pendidikan formal terutama sekolah.

Sentra yang pertama, keluarga, merupakan cerminan masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat membawa dampak dan perubahan dalam struktur, bentuk maupun nilai-nilai keluarga. Konsep keluarga inti dengan satu bapak yang bekerja mencari nafkah, satu ibu yang mengayomi dengan penuh kasih sayang di rumah, dan anak-anak yang bahagia dan mendapat cukup perhatian sudah sulit dipertahankan dalam era pascamodern. Keluarga pascamodern diwarnai dengan kedua orang tua yang sama-sama mencari nafkah, angka perceraian yang meroket, keluarga dengan satu orang tua saja dan juga keluarga yang mempekerjakan anak-anak mereka. Globalisasi telah membawa berbagai kemajuan sekaligus penyakit sosial. Kemiskinan struktural yang menimpa kaum marjinal telah merampok masa kanak-kanak dari sebagian anak dan memaksa mereka menjadi pekerja untuk menghidupi keluarga mereka.

Dulu orang tua dianggap sosok yang bijaksana dan sudah cukup tahu mengenai cara-cara mengasuh dan mendidik anak. Sejalan dengan peranan ibu dalam keluarga, anak dianggap polos dan membutuhkan pengarahan serta perlindungan orang tua. Sebaliknya dalam pandangan pascamodern, anak-anak dianggap kompeten: siap dan mampu menghadapi kegetiran hidup. Pandangan baru ini muncul bukan karena anak memang sudah kompeten melainkan karena orang tua dan masyarakat pascamodern membutuhkan anak yang kompeten: anak yang mampu menerima kenyataan perceraian orang tua, yang tidak tergoncang melihat kesadisan pembunuhan baik di televisi maupun dalam kehidupan nyata, yang mampu mencari nafkah di jalan untuk disetorkan kepada orang tua atau kepala kelompok mereka, serta yang mampu menghadapi berbagai kekacauan dalam masyarakat. Pandangan anak kompeten ini ditayangkan media dalam film-film seperti Home Alone dimana seorang bocah bisa mengalahkan bandit-bandit kejam sendirian dan Daun di atas Bantal yang menyuguhkan gambaran tekanan yang dialami 3 bocah yatim piatu untuk bisa bertahan hidup tanpa pengarahan dan perlindungan orang tua sebagai tokoh panutan.

Sementara itu, lingkungan masyarakat dianggap bukan tempat bagi generasi muda untuk belajar bagaimana bertingkah laku karena banyak kenyataan yang merupakan hal yang harus diubah. Banyak kebobrokan dalam masyarakat menjadi kontraproduktif dalam proses pendidikan anak. Belum adanya kesadaran tentang pentingnya lingkungan yang sehat, masih rendahnya kepatuhan kepada hukum yang berlaku, anarkisme, serta praktek negosiasi antara penguasa dan penegak hukum dengan pelanggar hukum menunjukkan betapa masyarakat belum menjadi tempat pendidikan yang sehat bagi anak. Hal ini diperparah dengan rekaman berbagai kerusakan dalam masyarakat baik berupa fakta, opini atas fakta, simbolisasi, anekdot maupun distorsinya dalam media massa yang telah menjadi bahan pemelajaran tidak resmi bagi anak.

Dalam konteks sosial ini, sekolah dijadikan tumpuan harapan untuk mendidik generasi muda. Sekolah telah menanggung beban yang kurang seimbang dalam proses pendidikan anak-anak muda.
Sebagian beban ini adalah tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Sekolah telah menerima pelemparan tanggung jawab ini dengan berbagai alasan mulai dari alasan moral dan sosial, penugasan dari yang berkuasa (negara), sampai dengan alasan finansiil (uang SPP dan lain-lain dari orang tua untuk membayar pelaksanaan tanggung jawab ini). Padahal dalam kenyataannya, sekolah (formal) tidak lagi mampu menanggung beban sosial ini.

Kekurangsadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan merupakan fenomena pedang bermata dua. Seperti pada APBN dan APBD, anggaran rumah tangga untuk pendidikan (formal) dalam kebanyakan keluarga di Indonesia masih sangat rendah. Fenomena ini bisa jadi merupakan bentuk ketidak-percayaan masyarakat terhadap signifikansi proses pendidikan dalam sistem sekolah formal untuk merubah kualitas hidup. Proses yang terjadi di sekolah dianggap sebagai ritual formalitas yang berkisar dari menjemukan sampai dengan menyiksa anak namun perlu dilakukan agar mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah berupa ijazah untuk bisa memasuki jenjang selanjutnya. Sekolah hanya dianggap sebagai lembaga pemberi ijazah. Di tingkat perguruan tinggi, terungkapnya kasus pembelian gelar dan ijazah sebagai jalan pintas yang juga melibatkan beberapa pejabat dan anggota dewan merupakan pucuk gunung es dari ketidakpercayaan terhadap proses pemelajaran dalam sistem formal.

Bagi keluarga miskin, harga yang harus mereka bayar untuk membeli ijazah ini terlalu mahal sehingga putus sekolah merupakan konsekuensi logis. Sedangkan bagi keluarga yang mampu secara finansial, biaya minimal untuk mengikuti formalitas perolehan ijazah direlakan asal tidak terlalu menggerogoti anggaran rumah tangga. Di beberapa sekolah swasta yang tidak menetapkan uang sumbangan masuk yang sama untuk setiap siswa, proses tawar menawar--seperti layaknya terjadi di pasar tradisional--antara orang tua/wali dengan panitia penerimaan siswa baru merupakan ritual rutin yang mengawali proses pendidikan anak di sekolah tersebut. Ketidak-relaan orang tua untuk membayar biaya pendidikan sebesar yang seharusnya mereka tanggung ini menunjukkan rendahnya kepedulian warga masyarakat terhadap pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka sendiri. Biaya yang lebih besar sebetulnya dianggarkan untuk pendidikan non-formal (les pelajaran, musik, seni, sanggar dan sebagainya).

Yang menggembirakan, sekolah-sekolah alternatif yang diprakarsai lembaga-lembaga swadaya masyarakat didirikan untuk menampung anak-anak miskin yang sudah tidak bisa diakomodasi secara optimal di sekolah-sekolah formal. Ketika masyarakat tergerak untuk mengambil alih kembali pendidikan, muncul pendidikan alternatif yang diprakarsai sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Ada sanggar anak, sekolah anak rakyat, komunitas pinggir kali, dan sebagainya. Di kalangan kelas menengah, muncul gerakan homeschooling sebagai bentuk ketidak-percayaan kepada sekolah formal. Walaupun masih bersifat sporadis dan belum cukup banyak dibanding kompleksitas berbagai permasalahan dalam masyarakat, upaya-upaya alternatif ini merupakan bagian dari dinamika proses negosiasi dimensi formal dan non-formal pendidikan.

Ketika sekolah-sekolah formal (baik negeri maupun swasta) sudah terjebak dalam hegemoni negara dan tidak berdaya untuk mengakhiri gejala dehumanisasi dalam pendidikan dan ketika lembaga-lembaga pelatihan non-formal (kursus dan lembaga bimbingan belajar) juga ikut terjebak dalam industrialisasi dan komodifikasi ilmu pengetahuan dan ketrampilan, beberapa lembaga swadaya masyarakat memprakarsai sekolah-sekolah alternatif yang diharapkan bisa menembus kebekuan dan status quo dalam sistem pendidikan nasional.

Sejarah panjang intervensi negara dalam sistem pendidikan para warganya telah ikut mengikis kepedulian dan kemampuan masyarakat. Kasus anak sekolah dasar yang bunuh diri karena tidak bisa bayar SPP hanya menyengat sebagian warga sampai dengan rasa belas kasihan belaka namun tidak cukup serius untuk membangkitkan kesadaran dan gerakan dari masyarakat secara signifikan untuk memperbaiki dirinya sendiri dan meningkatkan kualitas hidupnya. Seperti kata Habermas, "before a society can effectively intervene in its own course, it must first develop a subsystem that specializes in producing collectively binding decisions." Berbagai kegiatan pendidikan alternatif sedang melakukan suatu perjalanan panjang yang diharapkan akan bisa mengajak warga masyarakat untuk memberdayakan dan mengatur diri demi kebaikan di masa mendatang.

sumber: http://www.komunitasdemokrasi.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar